Who am I

Who am I

Minggu, 23 Maret 2008

Simposium Antropologi Indonesia 2008

Abstrak


Dari Eka Dasa Rudra, Pamarisudha Karipubhaya dan Atma Papa : Politik Ritual, Kuasa, dan Pariwisata di Bali

I Ngurah Suryawan
Alumni Antropologi Universitas Udayana.
ngurahsuryawan@gmail.com


Di Bali, kekerasan dan ritual berlangsung silih berganti, bahkan beriringan dengan manis. Setiap tragedi kekerasan yang berlangsung dinetralisir dengan ritual. Tatanan kosmis alam Bali yang tidak seimbang karena tragedi kekerasan, harus disucikan kembali, diharmoniskan dengan ritual.Sejarah kekerasan di Bali mencatat, ritual menjadi pembius untuk melupakan ingatan pedih kekerasan dan menyerahkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Tragedi pembantaian massal 1965-1966 dibersihkan dengan tatanan ritual megah bertajuk Karya Agung Eka Dasa Rudra pada 1979 di Pura Besakih. Pemerintah rezim Orde Baru mendukung penuh ritual tersebut dan membiayai seluruh kegiatan.Seluruh manusia Bali yang terbunuh tanpa ditemukan mayatnya diupacari, dibersihkan, dan rohnya dianggap telah suci.

Saat Bom Bali 12 Oktober 2002 meletus di Legian Kuta, dilakukan ritual Pamarisudha Karipubhaya pada 15 November 2002. Pemerintah mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk mendukung ritual ini. "Bali Love Peace" menjadi slogan bagaimana Bali akan terus bertahan dengan kesucian pulau dengan serentetan ritual-ritual suci yang menetralisir kejahatan.

Ritual Atma Papa dilangsung di Kabupaten Buleleng pada 17 September 2004. Ritual ini juga bertujuan untuk membersihkan roh-roh yang masih belum disucikan melalui serangkain ritual dalam tradisi Hindu Bali. termasuk juga didalamnya adalah korban kekerasan politik pembantaian massal Tragedi 1965-1966.

Paper ini berusaha untuk melacak genealogi politik ritual di Bali. Selain berdasar pada teologi Hindu, realitas ritual tidak steril dari relasi kekuasaan. Negara (baca: pemerintah) menjadi salah satu aktor yang mendukung upacara, karena dengan mendukung ritual, negara dapat memelihara kekuasaannya. Dalam ritual juga terjadi sebuah representasi mana yang pantas diingat dan dilupakan. Ritual Pamarisudha Karipubhaya pasca Bom bali 2002 menunjukkan bagaimana relasi ritual dan pariwisata saling mendukung. Ritual melegitimasi pariwisata (baca: kuasa), pariwisata melegitimasi ritual. Akhirnya, apakah dengan ritual masyarakat Bali bisa mendamaikan diri dengan ingatan tragedi kekerasan yang menimpanya?

Tidak ada komentar: