YANG DIKALAHKAN DAN TERHEMPAS: GENEALOGI KEKERASAN DALAM KESAKSIAN SUBALTERN [1]
I Ngurah Suryawan [2]
Karena nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, maka pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang lestari. Pertarungan yang sabar dan diam-diam yang dilakukan dengan tekad yang kuat oleh masyarakat-masyarakat desa selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil daripada percikan-percikan gelora seketika itu.
(March Bloch, Frech Rural History dalam James C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah, 2000)
Pascakolonialitas harusnya tidak merupakan subjektifitas setelah pengalaman kolonial melainkan sebagai suatu subjektivitas dari perlawanan terhadap wacana-wacana dan praktik-praktik imperialisme/kolonisasi (baca: subordinasi/subjektivasi) (Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, 2003).
Awal Kisah...
Siang itu, suatu hari di bulan November 2007, saya membuka awal kisah ini. Setelah melewati perjalanan melelahkan dari Denpasar menuju Kabupaten Buleleng, melewati jalan bekelok perbukitan, menembus dinginnya kawasan Bedugul yang menyayat tulang, saya akhirnya sampai di kabupaten di ujung utara Pulau Bali itu. Tangan yang menggigil, dan punggung yang terasa mulai kaku seakan hilang karena sebuah tujuan: kembali melihat sebuah desa di perbukitan, sebuah desa yang menyimpan banyak cerita: Desa Kayuselem (bukan nama sebenarnya). [3]
Desa Kayuselem selalu teringat dalam setiap langkah dan mimpi saya, bukan karena di desa ini terjadi tragedi kekerasan yang akan saya teliti, tapi saya masih mengingat-mengingat ketika pada suatu hari di tahun 1999, saya sempat berkunjung ke desa yang termasuk berada di kawasan perbukitan itu. Saat itu saya terdorong keinginan untuk mengetahui perusakan dan pembakaran rumah yang menimpa salah seorang warga, salah satu tokoh masyarakat Desa Kayuselem. Saat itu saya hanya melihat kerumunan orang berkumpul tanpa ada kesempatan untuk mengenal sosok tokoh masyarakat itu. Sementara di depan mata saya bongkahan bekas bangunan rumah telah rata menjadi tanah. Kelompok masyarakat berkerumun, dan saya berada di dalamnya.
Saya masih mengingat-ngingat desa itu, ketika motor butut membawa keinginan saya menuju Desa Telagawaja, desa yang masih bertetanggga dengan Desa Kayuselem. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya Desa Kayuselem berhasil saya temukan. Pengalaman pertama ketika berkunjung di tahun 1999 sudah terhapuskan. Saya bahkan sama sekali tidak ingat ruas-ruas jalan ke desa tersebut. Saya benar-benar lupa.
Memasuki Desa Kayuselem, saya harus melewati ruas jalan tanjakan. Di sisi kanan dan kiri jalan hanya bengang (hutan) tanpa berpenghuni. Saya masih harus melalui jalan tersebut hingga menuju pelosok sebuah hamparan tanah penuh rerumputan di sisi kiri dan kanan. Hingga sampailah saya di monumen desa bertuliskan, “Selamat Datang di Desa Kayuselem”.
Siang itu saya mengamati berbagai aktivitas warga menuju tegalan (ladang) dan carik (tanah pertanian) mereka. Di ujung desa, penduduk lalu-lalang di jalan desa dengan membawa cangkul dan sabit. Beberapa orang lainnya tampak sedang berada di warung dan pos kamling (pos keamanan lingkungan) yang saya lihat cukup banyak jumlahnya, antara dua hingga tiga pos. Selebihnya, setelah memasuki wilayah yang berdekatan dengan pusat desa, melalui jalan yang membelah—karena ada pelinggih (pura tempat pemujaan) di tengahnya—saya lihat penduduk tampak lengang. Laju motor saya mendapat perhatian beberapa warga yang duduk-duduk di warung dan pinggir jalan.
Merasa mendapatkan perhatian, saya hentikan laju sepeda motor. Saya bertanya kepada seorang warga, lelaki setengah baya yang jongkok di pinggir jalan sambil mengelus-ngelus ayam jago untuk metajen (sabung ayam). “Numpang metaken pak, uningin umah Pak Ketut Sorog sareng Pak Nyoman Nambregn ngih?” (Numpang mau bertanya pak, apakah mengetahui rumah Pak Ketut Sorog dan Pak Nyoman Nambreg ya?). Pertanyaan polos dan halus saya justru ditanggapi dingin oleh lelaki setengah baya tersebut. Ia berdiri sambil membawa ayam jagonya, dan menggerakkan tangan tanda tidak tahu sambil menjawab singkat, “Ten Uning.” (Tidak tahu).
Mendapat jawaban dingin itu, saya mulai menaruh curiga. Jangan-jangan semua warga tutup mulut dengan kejadian tragis yang menimpa kedua keluarga ini, Ketut Sorog dan Nyoman Nambreg. Tapi saya simpan dalam-dalam rasa curiga tersebut. Saya beranikan diri untuk bertanya kembali kepada warga yang lain.
Kali ini tujuan saya adalah pada generasi muda. Saya menemui beberapa anak muda Desa Kayuselem yang sedang berkumpul di warung-warung desa. Mereka berkumpul sebanyak empat orang sambil bercengkrama. Dua diantaranya bertelanjang dada, sementara yang lainnya duduk di kursi-kursi plastik membelakangi warung. “Swastiastu ngih, tiang metaken, uning rumah Pak Nyoman Nambreg sareng Pak Ketut Sorog ngih?” (Swastiastu—salam pembuka dalam tradisi Hindu—saya mau bertanya, apakah tahu rumah Pak Ketut Sorog dan Pak Ketut Nambreg ya?). Saya terkejut mendapatkan jawaban yang ketus dan sinis. “Sing ada dini, mekejang be pesu uli desa.” (Tidak ada disini, semuanya sudah keluar dari desa). Lanjutan dari jawaban mereka justru balik menginterogasi saya, “Gus saking napi? Wenten perlu napi ngih?” (Anda darimana? Ada perlu apa ya?). Saya kelabakan dan kemudian menjawab seadanya, “Tiang dari Unud (Universitas Udayana), wenten perlu sareng Pak Nambreg. Ngih, suksma bli,” ujar saya sambil kemudian bergegas meninggalkan sekelompok anak muda itu. (Saya dari Unud, ada perlu dengan Pak Nambreg. Mari, terimakasih).
Dalam perjalanan meninggalkan Desa Kayuselem, sambil sesekali berhenti melihat luasnya lahan pertanian yang kering kerontang, saya masih menyimpan pertanyaan tentang detail kejadian yang menimpa keluarga Ketut Sorog dan Nyoman Nambreg. Beberapa informasi awal saya kumpulkan dari kliping koran-koran dan informasi dari beberapa kawan. Keinginan tersebut saya simpan dalam-dalam. Bergegas saya meninggalkan Desa Kayuselem kembali menuju Denpasar, dengan suatu harapan suatu saat akan bisa menyibak misteri tragedi kekerasan yang menimpa dua manusia Bali ini (Ketut Sorog dan Nyoman Nambreg). Laju motor saya kemudian menembus kabut tebal di puncak bukit menuju Denpasar. Derasnya hujan menyertai perjalanan pulang ke Denpasar, dibarengi misteri dan keinginan besar menyibak misteri tragedi kekerasan politik di ujung utara Pulau Bali itu.
Lima bulan kemudian keinginan saya tercapai. Melalui beberapa kawan, keinginan untuk menemui Nyoman Nambreg dan Ketut Sorog akhirnya tercapai. Nyoman Nambreg yang menjadi saksi saat kedua anaknya menghembuskan nafas terakhir saat dikeroyok massa berhasil saya jumpai. [4]
Nyoman Nambreg, lelaki ringkih itu masih bermandi keringat ketika saya mengunjunginya di rumahnya yang beratap klangsah (anyaman dari janur) dan sumi (ilalang). Di hamparan sawah yang luas, sebagian besar masih kering kerontang, Nambreg mengayunkan cangkulnya tanpa lelah. Rumah Nambreg berdampingan dengan sawah garapannya, bukan miliknya karena ia hanya sebagai petani penggarap.
Di rumah beratapkan sumi tersebut Nambreg tinggal bersama istri, anak, cucu, dan menantunya. “Kubu tiang di desa sampun rate dados tanah. Tiang ten medue napi-napi malih. Niki wenten ne ngolasin tiang maang tanahne dadi tongosin,” ujarnya lirih. (Rumah saya di desa ( Kayuselem)—tempat Nambreg berasal sudah rata dengan tanah. Saya tidak punya apa-apa lagi. Ini ada orang yang mengasihani saya memberikan tanahnya untuk ditempati).
Nambreg adalah saksi sejarah keberingasan manusia Bali sesama saudaranya, krama (warga) satu desa di sebuah desa utara pulau Bali. Dua anak lelakinya tewas mengenaskan dikeroyok massa berseragam salah satu partai politik. Nambreg dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana massa manantang kedua anaknya, menyekap, untuk kemudian menghujaninya dengan pukulan, tusukan taji dengan beringas. Nambreg yang berusaha menghalangi bahkan dihujani pukulan hingga jatuh tersungkur.
“Jelmane to-to dogen. Sing ade lenan. Tiang sampun uning. Tiang sing lakar engsap kanti mati,” tuturnya mantap. (Orangnya itu-itu saja. Tidak ada yang lain. Saya sudah tahu. Saya tidak akan pernah lupa sampai mati). Dengan senyum sinis dalam kepedihan dan amarah, Nambreg menuturkan:
Tiang jeg ngelah rasa sampe hati nyalanang keneh ene keto. Tiang men jani omongan tiang sing bakat been, tonden nyidang tiang mebakti mulih. Nomer satu gen tiang mebakti nuju odalan. Nah beneng tiang nyakupang lima, ade san ye di sampinge, tiang buung mebakti dadine. Amen sing ade ngelah keneh emosi, yen tiang kalah karwan be mati, kalah yen anak meyadnya buung. Keto perasaan tiang. Ampe jani tiang ten.
(Saya merasa sampai hati menjalankan keinginan seperti itu. Saya kalau sekarang diomongkan saya sudah tidak menghiraukan, belum bisa saya sembahyang ke rumah. Nomor satu saja saya sembahyang ke rumah di Desa Kayuselem saat odalan—ritual/upacara persembahan di pura keluarga. Nah, tepat saat saya mencakupkan tangan (saat sembahyang), ada orang (yang ikut membunuh anak saya) tepat disamping saya, akibatnya saya batal sembahyang. Ini kalau tidak perasaan emosi, kalau saya kalah sudah jelas mati, dan sudah kalah orang menyadnya (menghaturkan persembahan suci menjadi batal). Itu perasaan saya. Sampai sekarang saya tidak (ke Desa Kayuselem).[5]
Istri Nambreg juga mengungkapkan kepedihan dan ketakutannya kembali ke Desa Kayuselem:
Tiang sing bani mulih nginep kayang jani. Dugase to be gen kejadianya, tiang taen jumah dugas a bulan pitung dine (upacara satu bulan tujuh hari menurut penangggalan Bali setelah kematian kedua anaknya).
Saya tidak berani pulang (ke Desa Kayuselem) dan menginap hingga sekarang. Saat kejadiannya itu, saya sempat ke rumah saat upacara satu bulan tujuh hari (upacara satu bulan tujuh hari menurut penanggalan Bali setelah kematian kedua anaknya). [6]
Dalam keteguhan dan senyum sinisnya, Nambreg bersama keluarganya menyimpan amarah. Amarah Nambreg adalah sebuah bara yang kini masih tersimpan rapi di dalam relung hatinya. Kisah Nambreg menjadi cermin bahwa beberapa kelompok masyarakat menyimpan sebuah kepedihan tragedi politik dan kesaksian mereka tidak mendapatkan ruang untuk bertutur, bahkan “dihilangkan” tertelan berita para tokoh politik dan pejabat negara yang berbicara “mewakili” mereka. Cukup lama beberapa kelompok masyarakat ini dibungkam, dikalahkan, dan tidak bersuara. Kesaksian dan pergolakan hidup mereka luluh tertelan begitu banyak pentas-pentas politik yang membuat kisah mereka hilang disapu angin.
Sejarah Lisan dan Studi Subaltern
Dalam studi sejarah yang konservatif (do document no history), sejarawan sering sangat tergantung kepada “dokumen” yang mereka anggap sebagai “dewa kebenaran” dalam penyelidikan sejarah. Seolah apa yang terdapat dalam dokumen adalah fakta final yang tidak perlu untuk dikritik apalagi dikoreksi. Roosa dkk (2004) mengandaikan bahwa kepercayaan sejarawan pada ketepatan dokumen resmi pemerintah dan surat kabar sebagai “gudang kebenaran sejarah”.
Sejarah lisan hadir untuk memberikan ruh pada penulisan sejarah itu sendiri. Lucas (1989) dalam Peristiwa Tiga Daerah-nya memberi cermin bahwa sejarawan lisan mempunyai sebuah diktum: “Jika mau menulis sejarah, tulislah dari perspektif orang yang menghidupinya, bukan dari seperangkat prinsip ahistoris atau penilaian apriori.
Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.
Maka sejarah lisan bukan hanya teknik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan dari rekaman tertulis. Arti pentingnya jauh lebih luas dari itu. Seperti ditulis Paul Thompson, sejarah lisan telah mengubah seluruh watak penulisan sejarah: dengan menampilkan bukti-bukti baru dari bawah, dengan memindahkan fokus (penyelidikan sejarah) dan membuka wilayah penyelidikan baru, dengan menantang sejumlah asumsi dan penilaian yang selama ini dipegang oleh sejarawan, dengan memperhatikan kelompok-kelompok orang yang selama ini diabaikan. Ruang lingkup penulisan sejarah sendiri telah diperluas dan diperkaya; dan pasa saat bersamaan pesan sosialnya pun berubah. Sejarah, dengan kata lain, menjadi lebih demokratik (Roosa dkk, 2004: 5).
Pergolakan dari “arus bawah” yang menghidupi sejarah itulah yang ditangkap oleh subaltern studies. Bertitik tolak dari studi pascakolonial—yang memungkinkan masyarakat terjajajah dan kelompok masyaraat tertindas untuk bersuara dan merumuskan identitas dirinya—subaltern studies berjuang keras untuk menampilkan sejarah-sejarah sosial dari mereka yang bukan elit.
Kata subaltern dilontarkan pertama kali oleh marxis Italia, Antonio Gramsci ketika mengklasifikasikan kondisi masyarakat Italia. Ia menyebutkan membicarakan kelas subaltern tidak bisa dilepaskan dari formasi negara. Dalam bahasa Gramsci, mereka adalah “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok yang lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik”. Kelas dan kelompok inilah yang kemudian akhirnya biasa disebut kelas-kelas subaltern.
Gayatri Chakravorthy Spivak yang menampilkan subaltern studies mendapatkan inspirasi dari sejarah perjalanan intelektual India kritis yang tergabung dalam Subaltern Studies Group. Adalah Ranajit Guha, seorang sejarawan India yang kemudian mengambil dan mengembangkan gagasan Gramsci tentang subaltern untuk menulis ulang sejarah India. Guha mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan di desa, yaitu rakyat. Yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan elite” dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).
Namun, dalam masyarakat pascakolonial, suara-suara masyarakat tertindas dalam kelas subaltern terfragmentasi dan berlapis-lapis seperti yang diungkapkan di atas. Suara-suara subaltern tersebar dalam subjektivitas-subjektivitas manusia dan pengalaman sejarahnya. Dalam studi pascakolonial identitas-identitas dan subjektivitas-subjektivitas manusia itu berubah dan terpecah-pecah. Sementara, sebagian kritikus dan sejarawan mendapati deskripsi tentang formasi subjek memudahkan pemahaman kita tentang kemungkinan give and take, negosiasi-negosiasi dan dinamika kekuasaan dan perlawanan dalam hubungan-hubungan kolonial. Namun, bagi yang lain, teori-teori tentang identitas terpecah dan tidak stabil seperti itu tidak memungkinkan kita mengkonseptualisasikan keagenan, atau mendefinisikan subjek-subjek yang merupakan pembuat-pembuat dari sejarah mereka sendiri (Loomba, 2003: 300-301).
Payung besar subaltern studies adalah studi pascakolonial. Edward Said dalam Orientalisme (1979, 2001)—yang menjadi dasar teori pascakolonial—melacak asal-usul proyek kolonialisme, yang kemudian melahirkan teori pascakolonial, dari sebuah kegagalan intelektual, akademik, sekaligus kemanusiaan. Said mengungkapkan orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologism dan epistemologis yang dibuat antara “Timur” (the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occodent). Orientalisme didefinisikan sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur—berurusan dengannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan tentangnya, memberwenangkan pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman dan memerintahya, pendeknya, Orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur.
“…Tanpa memeriksa Orientalisme sebagai suatu discourse, kita tidak akan mungkin bisa memahami disiplin yang sangat sistematis ini, dengan mana budaya Barat mampu mengatur—bahkan menciptakan –dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideology, saintifik, dan imajinatif selama masa pasca-Pencerahan. Disamping itu, demikian berwenangnya kedudukan Orientalisme hingga saya yakin bahwa tak seorang pun yang bisa menulis, berpikir mengenai, atau bertindak terhadap dunia Timur tanpa memperhitungkan pembatasan-pembatasan atas pikiran dan tindakan, yang digariskan oleh Orientaslisme. Singkatnya, karena Orientalisme maka dunia Timur dahulu (dan juga sekarang) tidak merupakan obyek pemikiran atau tindakan yang bebas. Ini tidak berarti bahwa Orientalisme secara sepihak menentukan apa yang dapat dikatakan tentang dunia Timur, tetapi ia berarti bahwa Orientalisme merupakan keseluruhan jaringan kepentingan-kepentingan yang secara tak terhindarkan dikaitkan dengan (dan karenanya selalu terlibat dalam) setiap kesempatan dimana entitas “dunia Timur” yang khas itu menjadi pokok perbincangan (Said, 2001: 4).
Jorge de Alva (dalam Sutrisno dan Putranto, ed, 2004: 11) mengungkapkan, pascakolonial diartikan sebagai subjektivitas dari perlawanan terhadap wacana dan praktek imperialisme (subordinasi). Alva menawarkan pemikiran bahwa kita harus melepaskan makna pascakolonial dengan kondisi kolonial sebelumnya dan menghubungkannya dengan tonggak pascastrukturalis. Pemikiran Alva mencoba melepaskan pascakolonial dengan arti dekolonisasi formal. Sebab banyak orang yang hidup dalam negara-negara yang dijajah maupun menjajah tetap menjadi subjek dari penindasan yang dahulu diterapkan penguasa kolonial. Selain itu, bagi kelompok masyarakat yang berada pada kelas terendah, yang masih tetap berada pada posisi paling terpinggir, makna kolonisasi tidak pernah memasuki masa “pasca”.
Studi pascakolonial secara mendasar bisa diletakkan pada dua konteks utama yang saling berhubungan. Pertama, adalah sejarah dekolonisasi itu sendiri. Para intelektual dan aktivis yang berjuang melawan pemerintahan kolonial, dan para penerus mereka yang ingin menghadapi warisan kolonial yang masih berlanjut, dalam proses mengupayakan agar suara mereka itu didengar, telah mempertanyakan dan merevisi definisi-definisi dominant tentang ras, budaya, bahasa, dan kelas. Kedua, adalah revolusi, di dalam tradisi-tradisi intelektual “Barat”, dalam pemikiran tentang sebagian dari isu-isu yang sama—bahasa dan bagaimana ideology-ideologi bekerja, bagaimana subjektivitas-subjetivitas manusia dibentuk, dan apa yang mungkin kita maksudkan dengan budaya (Loomba, 2003: 26).
Mengurai Genealogi Kekerasan (Bali) dalam Perspektif Subaltern
Dengan menggunakan perspektif subaltern, sejarah lisan, dan cultural studies sebagai pisau untuk menguraikan praktik politik dan relasi kekuasaan, melacak genealogi kekerasan di Bali setidaknya akan lebih bernuansa. Setidaknya, fenomena kekerasan tidak hanya dijelaskan sebagai sebuah “kesalahan internal” atau sebuah patologi sosial, tapi sebuah hubungan diskursif antara warisan politik Bali pascakolonial dan relasi subjektivitas politik dan kekuasaan yang terus berubah-ubah. Bukan juga menjelaskan kekerasan sebagai sebuah ritus lingkaran hidup manusia yang given dan mendarah daging (memang ada dalam masyarakat Bali), tanpa menguraikan relasi-relasi yang membentuknya, membongkar mitologi-mitologi kekerasan dan memetakan hubungannya kini sehingga kekerasan begitu massif.
Semua metode, teori sosial baru yang dikembangkan ingin menjawab sebuah pertanyaan besar yang belum tuntas hingga kini: Mengapa kekerasan begitu membadan dan menjadi keakraban bagi Bali? Dan Mengapa manusia Bali begitu beringas melakukan aksi kekerasan bahkan membunuh sesama saudaranya?
Menjawab pertanyaan besar itu bisa dilakukan dalam berbagai perspektif. Paper ini mengajukan dua perspektif untuk berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, adalah membongkar kembali genealogi kekerasan dan praktik-praktik pewarisan kekerasan yang berlangsung di Bali. Kedua, bagaimana pemosisan kelompok subaltern dalam genealogi kekerasan tersebut.
Genealogi kekerasan di Bali sesungguhnya terjadi sejak bagaimana Bali “dibentuk” melalui praktik kolonisasi. Proyek “pentradisian” Bali yang dikenal dengan ideologi Baliseering menjadi roh dalam kehidupan politik kebudayaan Bali. Proyek Balinisasi yang menempatkan Bali sebagai museum hidup dengan keunikan kebudayaannya, berlangsung menjadi landasan praktek kehidupan politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Rezim kolonial merombak dan membongkar semua citra kebudayaan Bali menjadi romantik yang mempesona pihak luar, yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kolonial untuk mengekspolitasi Bali.
Dalam politik kebudayaan Baliseering, Picard (2006) menuliskan tujuannya bukanlah melindungi kebudayaan Bali yang ada, melainkan memulihkan apa yang disangka oleh mereka (rezim kolonial Belanda) merupakan keadaan aslinya.
Dengan demikian, tidak hanya sekadar mencoba melindungi orang Bali dari pengaruh-pengaruh luar, para orientalis dan pejabat Belanda di pulau itu mengajarkan pula bagaimana menjadi orang Bali yang sebenarnya: itulah tujuan dari kebijakan yang dikenal dengan nama baliseering atau ‘Balinisasi” yang diterapkan pada tahun 1920-an (Picard, 2006: 27).
Kebijakan ini bertujuan meningkatkan kesadaran kaum muda atas kekayaan warisan budayanya, melalui pendidikan yang menekankan pelajaran bahasa, sastra dan kesenian tradisional, sambil di sisi lainnya secara aktif menekan wujud modernisme yang tidak selaras (dengan budaya Bali). Peninggalan-peninggalan masa lalu tidak dilupakan, bersamaan dengan itu karya-karya agung budaya Bali didaftar dan dikumpulkan, baik untuk diperlihaatkan kepada kaum sarjana dan para pengunjung, juga untuk mencegah penjualan kepada turis sebagai souvenir.
Praktik Balinisasi inilah yang kemudian dibekukan serta diwariskan pada rezim “Pariwisata Budaya” Orde Baru. Citra eksotis yang diproduksi rezim kolonial Belanda direproduksi kembali untuk mendatangkan gemerincing dollar para turis. Dalam bahasa Robinson (2006), citra “tradisional” Bali yang menjadi titik sentral ideologi Balinisasi diproduksi oleh industri pariwisata oleh rezim Orde Baru. Bali “tradisional” yang begitu disanjung-sanjung para pelancong maupun ilmuwan adalah sebuah fiksi historis, produk kalkulasi politis dan tujuan-tujuan politis konservatif. Citra popular tentang Bali ‘tradisional” sebagai “sorga terakhir” telah dilanggengkan dan dieksploitasi oleh sederet pemerintah, baik Belanda maupun Indonesia, dan oleh partai-partai dan para pemimpin politik yang berkepentingan melestarikan status quo atau menciptakan “tradisi” yang sepenuhnya baru dan lebih sesuai dengan kepentingan pribadi, politik atau kelas mereka. Citra ini digenjot oleh industri pariwisata multijutaan-dolar, yang menemukan skema yang menguntungkan dalam “tradisi” Bali (Robinson, 2006: 468).
Bujuk rayu bernama pariwisata itu membenamkan kenangan pahit ketika sesama krama Bali saling bunuh di tahun 1965. Di pulau seribu dewa ini, antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80.000 orang—atau sekitar 5 % penduduk yang berjumlah kurang dari 2 juta jiwa—ditembak, ditikam, ditebas sampai mati. Sejarah resmi Angkatan Darat, yang hampir dapat dipastikan merendahkan tingkat pembunuhan ini, menyodorkan angka 40.000 korban dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Dinas sejarah KODAM XVI/Udayana, Komando daerah Militer XVI/Udayana Dalam Lintasan Sejarah (Denpasar, 1982). Sejumlah orang Bali yang punya akses ke catatan militer dan pemerintahan provinsi kala itu menganggap angka 50.000 korban tewas sebagai “jelas kelewat rendah”, dan angka 100.000 korban tewas sebagai “mungkin” (Robinson, 2006).
Tapi pada rezim Orde Baru, ingatan kekerasan pembantaian 1965 berhasil dihempaskan dan tergantikan oleh jargon “Bergiat Menjadi Pahlawan Pembangunan”. Pembangunan dan pariwisata adalah dua kata sakti untuk membuat manusia Bali melupakan sejenak tragedi pedih masa lalunya. Bali kemudian berubah menjadi pulau yang paling terdepan dalam pembangunan infrastruktur pariwisata.
Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pembangunan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya. Maka pada Maret 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Pemerintah mendapatkan bantuan dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan UNDP (United nations Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi objek budaya (museum, pura, peningggalan purbakala), atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berhasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata (Pitana, 1999: 19-20).
Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan Bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali.
Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa di setiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat program-program pemerintah, ataupun lewat agensi manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga. Karena itulah kehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Santikarma (tt) mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik.
Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan sejahteranya masyarakat Bali. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis. Tidak salah memang, pembangunan dan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru awal tahun 1980-an.
Karena alasan citra eksotis pulalah pasca Bom Bali 2002 dan 2005, image Bali pasca kekerasan terorisme harus dipompa kembali menjadi sebuah warisan citra yang abadi. Citra abadi tentang eksotisme Bali tersebut terasa ironis dan ahistoris. Ironis karena landasan pembentukan citra tersebut berlumuran kekerasan dan praktik kekuasaan oleh rezim kolonial Belanda dan kemudian diwariskan oleh manusia Bali dalam rentetan tragedi kekerasan berikutnya, diantaranya pembantaian 1965 dan kekerasan-kekerasan politik lokal pasca 1998. Ahistoris karena citra abadi tentang eksotisme Bali itu dianggap sebagai “warisan leluhur” yang memang ada begitu saja dan pantang mempertanyakan bagaimana itu ada.
Proyek ‘mengembalikan citra Bali” pasca Bom Bali 2002 dan 2005 menurut Santikarma (2003) dimulai dengan penggalian lapisan-lapisan stereotip dari beberapa zaman untuk memamerkan “arkeologi kekuasaan” yang secara selektif dipilih dari sejarah. Susunan yang pertama dalam pembentukan “image Bali” adalah konstruksi terhadap Bali yang diciptakan oleh rezim kolonial yang memuja Bali sebagai manusia demokrat sejati seperti dalam konsep “village republic” yang melihat institusi lokal, seperti banjar (desa), sebagai egaliter di mana semua pendapat dihargai dan konflik diredam atas nama harmoni sosial.
Kemudian diikuti oleh konstruksi antropolog Margareth Mead dan Goerge Bateson yang melihat orang Bali sendiri sebagai manusia yang “berkarakter halus dan anggun”, ‘emosi tanpa klimaks” dan “mengutamakan kerukunan”. Pandangan arkaik dan naif seperti ini dilestarikan untuk menambah kesan bahwa Bali terisolasi dari pergolakan politik kontemporer.
Image yang diciptakan untuk menggambarkan Bali sebagai pulau damai, kebal dari sejarah kekerasannya sendiri, menjadi sebuah komoditas untuk ekspor sekaligus bahan kebutuhan domestik. Kasus bom meletakkan masyarakat Bali dibawah sorotan masyarakat dunia. Orang Bali sadar mereka sedang diperiksa, diuji, dan diselidiki untuk direpresentasikan oleh media luar. Kehadiran pers asing berfungsi sebagai kamera pengawas, atau dalam bahasa Michel Foucault sebagai panopticon, yang me-“litus” gerak-gerik orang Bali. Kalaupun ada ketegangan antaretnis yang muncul pascabom, seperti “sweeping” KTP dan tertib administrasi terhadap penduduk pendatang. Ini harus disembunyikan di bawah kasur supaya masyarakat tidur nyenyak dan bermimpi gemerincing dollar pariwisata. Dari satu sisi, ledakan bom memang mengemboskan roda perekonomian Bali. Tetapi, dari sisi lain, tragedi Sari Club justru mempertebal rasa solidaritas orang Bali. (Santikarma, 2003)
Santikarma (2003) melakukan pembandingan antara peristiwa ledakan Bom di Legian Kuta 2002 dan tragedi pembantaian massal sesama manusia Bali pada tahun 1965. Dengan satir Santikarma menuliskan:
Dua ladang kekejaman di mana lebih dari dua ratus jiwa meninggal dunia. Yang satu menjadi pusat perhatian umum, bahkan ada rencana yang masih diperdebatkan untuk dijadikan monumen. Yang satu lagi menjadi dokumen terlarang dibaca, seperti "buku kiri" yang dikunci di belakang perpustakaan di zaman Orde Baru—meskipun tak ada dari pihak penguasa yang berani memahami tentang apa yang dilarang. Yang satu masuk ke jaringan media internasional, menjadi berita utama di seluruh dunia. Yang satu lagi terkubur, tanpa kabar, tanpa batu nisan, apalagi upacara. Yang satu punya saksi yang berjejer di ruang sidang untuk mengumumkan ingatan mereka. Yang satu lagi punya saksi tanpa pendengar dan pelaku yang tak hanya bebas tetapi dipanggil pahlawan. Yang satu menjadi tempat peziarah, destinasi "wajib" dikunjungi oleh setiap orang yang datang ke Bali. Yang satu lagi menjadi tempat tak tersebut dan terhapus dalam peta, dikunjungi hanya oleh seseorang yang masih berani setia pada ingatan kawan-kawan yang meninggal dengan cara yang begitu bengis (Santikarma, 2003).
Subaltern Studies dan Cultural Studies: Mengurai Struktur, Subjektifitas, dan Kuasa
Subaltern Studies sebagai sebuah kajian menempatkan bahwa kelompok masyarakat yang tertindas untuk diberikan ruang bersuara, bersaksi, menggugat “narasi resmi” dari kekuasaan. Dalam praktiknya, subaltern studies adalah politik pemihakan. Jika dilacak lebih jauh, kehadiran kelompok-kelompok inferior ini memilik sejarah panjang dalam perjalanan kolonialisme. Setelah proyek penjajahan tersebut berakhir—dalam bentuk fisik tapi tidak dalam bentuk ideologi dan praktik-praktik neo-kolonialisme—masih tersisa jejak-jejak, warisan kolonialisme yang dibekukan dan terus dipraktikkan oleh bangsa terjajah. Oleh karena itulah studi pascakolonialisme selain menekankan pada pembongkaran warisan rezim kolonial, juga menginspirasi kelompok-kelompok inferior, terpinggirkan dari masyarakat terjajah untuk bersuara dan mendefinisikan dirinya (Fanon, 2000).
Posisi subaltern jelas berada di tepi pusaran kekuasaan. Oleh karena berada di tepi, suaranya sering diabaikan. Dalam praktik kolonialisme, suara masyarakat terjajah dalam menunjukkan eksistensinya terbendung jejaring kekuasaan yang diciptakan oleh rezim penjajah. Setelah itu, posisi subaltern akan terus-menerus tersisih karena proyek penjajahan dilanjutkan oleh masyarakat terjajah lainnya yang mewarisi pola pikir kolonial. Oleh sebab itu, posisi subaltern akan terus ditekan dengan berbagai praktik-praktik penjajahan gaya baru yang terus direproduksi.
Menurut Gramsci, penulisan sejarah selanyaknya mengalihkan pandangannya kepada sejarah kelas-kelas subaltern ini. Karena dalam sejarah subaltern juga terdapat kompleksitas dan beragam relasi yang penting untuk dipahami. Tapi sayangnya menurut Gramsci, “sejarah yang tidak resmi” ini tertutup oleh “sejarah resmi” dari kekuasaan. Ini disebabkan karena kelompok subaltern tidak memilik akses ke pusat-pusat kekuasaan, kondisinya terpinggirkan dan terbungkam suaranya.
Sejarah kelompok subaltern tentu tidak akan tercatat dalam dokumen resmi negara. Sejarah, ingatan mereka termarginalkan yang berada di tepi dominasi politik kebudayaan. Tsing (1998) dalam kajiannya tentang marginalitas dan kelompok subaltern di Dayak Meratus mengungkapkan bahwa sangat penting untuk mempersoalkan posisi kelompok-kelompok masyarakat yang tersingkir dan terpuruk yang berada di tepi dominasi kebudayaan. Keterpinggiran dari kelompok subaltern ini menjadi tema yang penting untuk kembali merumuskan teori kebudayaan, bukan sekadar memberi ciri kebudayaan tertentu.
Dengan berdasar pada perspektif pascakolonial, Tsing menguraikan adanya perbedaan kebudayaan yang karena kekuasaan imperialisme Barat sekaligus perkembangan nasionalisme dan etnisitas yang dihasilkan oleh kekuasaan. Marginalistas—istilah Tsing dalam studinya tentang Dayak Meratus—menjadi pembuka jalan bagi suatu analisa kebudayaan (Tsing, 1998: 17-18).
Jika kajian budaya adalah sebuah politik dalam hal teoritik (Barker, 2004) maka subaltern studies adalah praktik keberpihak politik tersebut. Hubungan keduanya sangat berkaitan erat. Kajian budaya bagi Hall (dalam Barker, 2004: 6) selalu membincangkan hubungannya dengan kekuasaan dan politik dengan kebutuhan akan perubahan dan dengan representasi atas dan ‘bagi’ kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khususnya kelas, gender dan ras.
Dengan demikian, cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa (Barker, 2004: 6).
Lahirnya kajian budaya berawal dari perlawanan terhadap objektifitas pengetahuan dalam arti luas. Sunardi (2003: 17-18) menilai kajian budaya lahir dari kehendak untuk melawan berbagai kemapanan, abstraksi, dan pemutlakan suatu sejarah yang merugikan rakyat banyak. Semangat perlawanan ini telah menghasilkan perluasan gagasan tentang budaya menjadi sesuatu yang biasa dari orang biasa (ordinary). Kajian budaya bukan sekadar mempelajari budaya melainkan juga membudaya. Secara teoritis-konseptual, kajian budaya memberikan kerangka bagi gerakan-gerakan perlawanan.
Jika cultural studies lahir akibat dari respon budaya yang elit dan ”tinggi”, maka subaltern studies jika dilacak lebih jauh berkaitan erat dengan kolonialisme dan pascakolonialisme. Lahir dari latar belakang berbeda, tapi bermuara pada pemihakan pada kelompok-kelompok marginal, tersisihkan.
Cultural studies tidak menyibukkan diri dengan nilai-nilai yang dipandang sebagai intrinsik, abadi, luhur dari suatu kebudayaan melainkan lebih pada relasi-relasi sosial-politis yang terkandung di dalamnya. Pandangan demikian menuntut pemahaman akan adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat, khususnya antara kelas elit yang biasanya ditandai dengan produk budaya yang diklaim “luhur” dan kelas bawah yang produk budayanya biasanya dipandang sebagai budaya kerakyatan (Wardaya, 2006).
Pemosisian subaltern dalam kajian budaya adalah sebagai agensi, subjektivitas dalam pergolakan politik kebudayaan dan kekerasan. Dalam cultural studies, tema subjektivitas dan agensi menjadi salah satu tema penting dalam bingkai politik identitas. Subaltern menjadi agensi dari produk identitas yang dikonstruksi secara diskursif dan disipliner. Subaltern dibentuk dari serangkaian subjektivitas yang dibentuk dari serangkaian praktik diskursif.
Dalam genealogi kekerasan, subjektivitas dari agensi juga sangat berperan penting disampingnya tentunya struktur sosial yang membentuk agensi tersebut. Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003: 8) menajamkan perspektif yang mempertentangkan beberapa dikotomi antara individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan-determinisme. Bourdieu memperhitungkan bahwa posisi-posisi pelaku juga terkait dengan ruang dan memang riil ditempati. Ia mencoba menjelaskan dialektika antara pelaku dan sistem: struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan, dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya, pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Dimensi dualitas pelaku dan struktur masih sangat kuat. Melalui konsep habitus, Bourdieu menyatukan kedua unsur tersebut dengan pendekatan yang disebut dengan strukturalisme genetik/generatif: analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan analisis asal-usul struktur-struktur sosial itu sendiri.
Dalam konteks genealogi kekerasan, posisi dan peran subaltern menjadi sangat sentral. Dari kelompok subaltern inilah beragam genealogi kekerasan terbentuk dan menciptakan struktur-strukturnya yang terus menerus bergeser, berubah-ubah sesuai dengan konteks zaman dan relasi kekuasaan yang membentuknya.
Bergulatnya agensi, subjektiftas yang bertarung dalam praktik kekerasan juga menimbulkan dampak yang merusak hubungan kemanusiaan. Santikarma (2008) menunjukkan bahwa tragedi kekerasan menimbulkan rusaknya relasi humanisme sesama manusia.
Salah satu hasil kekerasan yang paling menyakitkan justru hancurnya kepercayaan antar saudara dan antar tetangga mereka sendiri, seperti yang dirujuk oleh Veena Das sebagai “kesadaran beracun” (2000) bahwa kelompok sosial seperti banjar, desa dan keluarga adalah fiksi sosial yang gampang goyah di bawah tekanan kekerasan? (Santikarma, 2008: 214).
Pada posisi subaltern-lah dampak kekerasan yang menyakitkan itu ditimpakan. Karena itulah genalogi kekerasan menunjukkan bagaimana akar sejarah kekerasan politik berjalan, bergeser dalam konteks relasi kekuasaan tertentu, dan sudah tentu menghasilkan kelompok subaltern yang berbeda-beda pula.
Tapi dalam kelompok subaltern juga terdapat struktur kekuasaan yang harus diuraikan. Karena itulah, dalam mendengar suara subaltern, ada baiknya untuk memakai bahasa mereka, mendengar dan melihat bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari. Dan yang tidak kalah untuk dilupakan adalah bagaimana kelompok subaltern ini memaknai kehidupan sehari-hari dan melihat lebih akrab lagi struktur kekuasaan yang beroperasi dalam keseharian di antara mereka yang terpuruk.
Santikarma (2004) dengan meminjam Bourdieu mengungkapkan tidak ada subyek yang bebas dari ruang kekuasaan dan tidak ada ruang yang steril dari power.
Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan tidak cukup untuk mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai “suara alamiah perlawan” yang murni dan tak terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan oleh segelintir “brahmana” diantara ribuan massa paria. Dunia sosial berhirarki di antara para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas diantara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya (Santikarma, 2004).
Ubung-Denpasar, 18 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang.
--------, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Fanon, Frantz. 2000. Bumi Berantakan: Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang Mengubah Wajah Dunia. Jakarta: Teplok Press.
Gramsci, Antonio. 2000. Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Promethea.
Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault” dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
---------, “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu” dalam Basis edisi khusus Pierre Bourdieu, No. 11-12, Tahun ke- 52, November-Desember 2003.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang.
Lubis, Dr. Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern, Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Pitana, I Gde. 1999. Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad. Denpasar: Bali Post.
Picard, Michel. 2006. Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta: KPG.
Retorik, Jurnal Ilmu Humaniora. 2003. (Vol. 2 No. 4), Menulis Ulang Kajian Budaya, Yogyakarta, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Robinson, Geoffery. 1995. The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali. Cornell University Press.
-------- 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta: LKiS.
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor). 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan. Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia
-------- dan Ayu Ratih. 2008. Sejarah Lisah di Indonesia dan Kajian Subjektivitas dalam Henk Schulte Nodholt dkk (ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, Larasan dan KITLV Jakarta
Said, Edward. 2001. Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka.
Sangarimbun, Masri (peny) dan Sofian Effendi. 1984. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Santikarma, Degung. 2002. “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”. Kompas Minggu 6 November 2002.
--------- tanpa tahun. “Budaya, Kuasa, dan Pariwisata”. makalah terbatas.
---------2000. “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”. Kompas 1 September 2000.
---------2003. “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”Kompas 7 Desember 2003.
---------2004. “Pentas Antropologi di Indonesia”. Kompas, 7 Juli 2004
---------2003. “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal”. Kompas, 1 Agustus 2003.
---------2004. “Sweeping” Bali, ‘Sekala” dan “Niskala”. Kompas, 7 April 2004.
Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sunardi, St. 2003. “Kajian Budaya: Pada Mulanya adalah Perlawanan…” dalam Jurnal Ilmu Humaniora Retorik Vol. 2 No. 4 2003, Menulis Ulang Kajian Budaya, Yogyakarta, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto (ed). 2004. Hermeneuitika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius.
Supartono, Alexander. 2000. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. (skripsi) di STF Driyarkara.
Suryawan, I Ngurah. 2004. “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004
---------2005. BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
---------2005. Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali). Yogyakarta: Buku Baik dan Elsam.
---------2005. “Politik Kekerasan dan Para Jagoan (Sebuah Catatan Lapangan)”, dalam Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 5 Januari 2006.
---------2006. Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris, Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.
---------2006. “Membicarakan “Can the Subaltern Speak?” (Gayatri Spivak dan Praksis Kajian Budaya), dalam Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 6 Juli 2006.
---------2006, “Bertutur di Balik Senyap (Studi Antropologi Kekerasan Pembantaian Massal Tragedi di Desa Tegalbadeng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali”, (skripsi) Sarjana Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
---------2007. Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal 1965 di Bali. Yogyakarta: Galang Press.
---------2007. Kesaksian Air Mata, Kisah-kisah Memecah Senyap. Denpasar: Larasan.
---------2008. Rintihan Negri Sorga: Pergolakan Manusia Bali Pasca Bom Bali 2002 dan 2005. Yogyakarta: Impulse dan Kanisius
Wardaya, Baskara T. 2006. “Epistemologi Cultural Studies dan Pemihakannya pada Budaya-budaya Terpinggirkan”. Bahan Kuliah Kajian Budaya Universitas Udayana Bali, 5 Agustus 2006.
[1] Makalah singkat dalam seminar sejarah di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja pada 20 November 2008.
[2] Peneliti sejarah sosial, kekerasan, dan politik kebudayaan. Beberapa publikasinya: Bali, Narasi dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali (2005) dan Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 (2007). Bukunya, Bali Pascakolonial: Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya (segera terbit). Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com.
[3] Catatan lapangan awal ke Desa Kayuselem, 15-16 November 2007.
[4] Catatan lapangan 9-10 April 2008.
[5] Wawancara 20 April 2008
[6] Ibid.