Who am I

Who am I

Kamis, 11 September 2008

Putu, Tuhan, dan Tidur...


Aku dilahirkan sebagai seorang Hindu. Aku mulai berkenalan dengan pakaian sembahyang saat aku diupacarai sebagai "manusia Bali" yang hidupnya selalu penuh dengan upacara.


Aku percaya Tuhan, sebuah kekuatan di luar kekuasaan manusia. Tapi cukuplah itu hubunganku dengan Beliau, tidak perlu diatur-atur. Tapi sayang, agama membuatnya menjadi kaku, disiplin, dan sudah tentu banyak aturan.


Aku lahir di keluarga "penuh aturan" itu. Mungkinkah aku "menggugatnya" untuk kemudian "membongkarnya"? Aku tak tahu. Ayahku yang selalu gelisah dengan kondisi ini. Sementara aku, sambil aku belajar mendengar keluh kesah ayahku, aku terkadang tertidur saat melakukan upacara.


Waaaah...Apa ini bentuk protes ya? Aku juga tidak tahu...He..He..



Putu Againts Religion...

Putu dan Ibu...


Putu dan Ibu...


Ibuku, perempuan yang melahirkanku ke dunia. Selama 9 bulan aku dikandung. Aku sering jalan-jalan bersama ayah dan ibu. Entah ke Lapangan Puputan Badung, ke rumah saudara, atau ke pasar. Sejak dalam kandungan aku sering didongengin ama ayah dan ibu.


Aku sayang ama ibuku, juga ayahku. Sekarang ibu jika sedih memandangiku selalu menyakinakan lagu "kebangsaannya".


kasih ibu kepada putu

tak terhingga sepanjang masa...


Putu Sayang Ibu...

Kiri adalah Seksi: Pengantar Pameran ISI Denpasar

G-30-S: Kiri adalah Seksi


[...]Dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia seperti yang dibentuk rezim Soeharto, G-30-S merupakan kekejaman yang begitu jahat, sehingga kekerasan massal terhadap siapa pun yang terkait dengannya dilihat sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan dan bahkan terhormat.
...
Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 harus dilihat lebih sebagai saat awal pembangunan sebuah rezim baru, ketimbang sebuah reaksi wajar terhadap G-30-S. Suharto dan perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini.
(John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal:Gerakan 30 September dan Kudeta Suhartol, 2008)


Saat diminta untuk menulis pengantar pameran teman-teman mantan mahasiswa ISI Denpasar angkatan 2000, pikiran saya tertuju ke Yogya. Suatu hari di bulan September 2005, beberapa seniman muda Yogyakarta menggelar pameran bertajuk “September Something” di Kedai Kebun Forum. Sebelum pameran dalam bentuk karya-karya seni, diadakan beberapa pertemuan workshop. Beragam tema dibahas dalam pertemuan tersebut, salah satunya adalah mengumpulkan cerita dari orang tua peserta pameran tentang apa yang terjadi di bulan September 1965.

Semuanya mengarah kepada peristiwa G-30-S (Gerakan 30 September), sebuah peristiwa “yang tak pernah berakhir” dalam kontroversi sejarah dan kekuasaan di Indonesia. Dari peristiwa tersebut bukan hanya kekuasan baru yang lahir, tetapi juga debu-debu dendam kekerasan dan rapuhnya relasi kemanusiaan. Tanaman dendam dipupuk dengan berbagai rentetan sejarah panjang kekerasan. Kehilangan sanak saudara yang dicintai pada malam-malam mencekam di tahun 1965-1966 menjadi salah satu akar tersemainya dendam tersebut

Oleh rezim otoritarian Orde Baru, satu malam yang menegangkan, saat udara dingin menusuk tulang pada dini hari 1 Oktober 1965, menjadi dalih dari upaya “pembersihan” semua musuh-musuh Suharto dan gerbong politiknya untuk membangun sebuah emperium kekuasaan. Salah satu yang menjadi korban—diantara banyak lagi korban-korban kekerasan Orde Baru—adalah manusia Indonesia yang “dituduh”, kene garis (terkena garis) sebagai anggota ataupun simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia). Kesaksian, kepedihan serta “kebenaran” mereka berada dibawah tikar pembangunan, menjadi “musuh pariwisata dan budaya” di Bali.

Degung Santikarma (2008) mengingatkan:

Barangkali “sejarah yang benar” hanya mampu memberikan secercah harapan, yang berada di luar rezim prasasti, yang berisiko membekukan dan menunggalkan ingatan yang variatif. Barangkali juga “sejarah yang benar” adalah suatu cakrwala yang memberi inspirasi yang mengundang, agar masyarakat itu sendirilah yang menjadi sejarawan, daripada hanya sekadar objek ilmu. Hal lain yang perlu pula disikapi tentang “sejarah yang benar” adalah kesadaran akan bagaimana kekuasaan dalam wacana “sejarah” dan “kebenaran” sudah masuk ke dalam subjektivitas para korban, yang terpaksa memakai bahasa negara untuk menuntut keadilan. (Santikarma, 2008: 214-215)

Militer, ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), khususnya Angkatan Darat menjadi sangat dominan dalam menentukan sejarah yang “benar” saat konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru membuat sejarahnya sendiri. McGregor (2008) melakukan studi yang mengesankan bahwa sejarah oleh para militer ini dibuat berseragam, sesuai dengan pakaian kebesaran militer.

Di samping itu, peranan besar Pusat Sejarah ABRI sangat menentukan dalam bidang politik rezim Orde baru. Masyarakat sipil juga diharapkan taat pada versi yang dibesar-besarkan mengenai peran militer dalam sejarah. Peran militer ini khususnya tercantum dalam buku teks Sejarah Nasional Indonesia yang penyusunnya menjadi tanggungjawab Nugroho Notosusanto.

ABRI menggunakan tafsirannya sendiri mengenai peran-peran sejarah, khususnya selama masa rezim Orde Baru, untuk memotivasi calon perwira, meningkatkan persaudaraan militer secara internal, memperkuat legitimasi kedudukan mereka, dan menciptakan perasaan selalu adanya musuh dalam masyarakat Indonesia yang perlu diwaspadai. (McGregor, 2008: 7)

Kiri (PKI = Komunis) adalah Seksi?
Lalu, mau apa generasi muda dengan G-30-S ini? Terlepas dari agitasi dan propaganda rutinitas menonton “film Orde Baru, Pengkhianatan G30S/PKI”, selayaknya generasi muda bersikap terhadap “manipulasi sejarah” oleh kekuasaan ini. “Sejarah yang benar” bukan menjadi manipulasi negara seperti yang terjadi pada saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Saatnya keberagaman “kebenaran” sejarah disemaikan pada diri individu semua, agar sejarah bukan hanya menjadi alat kekuasaan, tapi juga medium pembebasan.

G-30-S dalam pameran kali ini bukanlah “Gerakan 30 September” tapi “Gerakan 30 Seniman” mantan mahasiswa ISI Denpasar angkatan 2000. Sepertinya, tendensi untuk memilih tajuk pameran ini G-30-S tidak lebih dari keinginan dari memparodikan, memplesetkan huruf-huruf keramat tersebut, agar tidak terkesan angker.

Tapi tentu hati-hati dengan sindrom memparodikan, membuat lucu kata yang “sebenarnya tidak lucu”. Menafsirkan sebagai sebuah kebebasan interpretasi memang mutlak menjadi kebebasan setiap manusia, tapi kadang menjadi dangkal dan “mengkhawatirkan”.

Momen penting dalam sejarah seperti G-30-S memang sangat kontroversial dan mengundang banyak tafsir, terutama kepada pertanyaan siapa sebenarnya pelakunya? Tapi kini tafsiran generasi muda—seperti para seniman muda yang berpameran September Something di Yogyakarta—sangat “memprihatinkan”. Seolah-olah menunjukkan bahwa kebebasan multifasir dirayakan dengan gaya anak muda yang sekali lagi “mengkhwatirkan”. Mengkhawatirkan maksud saya adalah peristiwa pedih di bulan September 1965, karena saking serius dan angkernya sehingga menjadi “lucu” dan ditafsirkan dengan aneh oleh generasi muda. Seperti misalnya permen berwarna merah muda bertuliskan 1965 dibagikan gratis kepada audience untuk dimakan.

Semoga ini bukan bentuk “ketidakpedulian”, atau cuek-nya mereka terhadap peristiwa penting ini, tapi sebagai sebuah tafsir untuk menggali lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi. Begitu juga harapan yang saya sertakan pada pameran G-30-S (Gerakan 30 Seniman) ini. Meskipun awalnya adalah keinginan untuk memparodikan, saya yakin keinginan untuk mendalami peristiwa ini sebagai tema berkesenian suatu saat akan muncul seiring waktu. Ini bukan karena 1965 dan apapun itu yang berbau kiri itu seksi dan diminati, tapi lebih daripada itu karena memang penting dan perlu.

Tulisan sederhana ini semoga saja menjadi inspirasi, agar suatu saat dari peserta pameran ini lahir karya seni yang bertema peristiwa 1965. Jika itu terjadi maka maksud tulisan ini setidaknya tercapai: menggugah mereka tidak hanya sekadar memparodikan, tapi masuk, bergulat, dan melahirkan “sejarah bagi mereka sendiri”

Suksma...


Ubung, September 2008

I Ngurah Suryawan
Mantan Mahasiswa ISI Denpasar Angkatan 2000 dan menulis buku Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 (2007).



Daftar Pustaka

McGregor, Katharine E, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2008.

Roosa, John, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2008.

Santikarma, Degung, Menulis Sejarah dan Membaca Kuasa: Politik Pasca-1965 di Bali (h. 201-215) dalam Henk Schulte Nordholt dkk (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Buku Obor, KITLV-Jakarta dan Penerbit Larasan.

Senin, 08 September 2008

Anakku I Putu Gemilang Satria Suryawan




5 Juni 2008, hari bersejarah bagiku. Anakku lahir ke dunia. Aku dan istri beri dia nama, I Putu Gemilang Satria Suryawan. Kini hari-hariku menjadi tambah berwarna. Harapan baru semakin menambah semangatku. Teriring semangatku untuk berharap: Jadi Anak yang Berkualitas ya Putu...